CULTURAL SITE

  1. Perkampungan Adat Sijunjung
  

Kampung Adat of Nagari Sijunjung, located in Nagari Sijunjung, specifically in the areas of Jorong Koto Padang Ranah and Tanah Bato, represents one of the remaining intact that have preserved their historical legacy since the era of the Pagaruyung Kingdom in the 14th century.

The community life within this traditional village is sustained through various forms of cooperative cultural practices, including:

  • Batoboh
    A traditional system of mutual cooperation (kongsi) involving collective efforts in farming, harvesting rubber, and building traditional Rumah Gadang (Minangkabau traditional houses).
  • Bakaua
    A cultural ritual of gratitude marked by the sacrifice of buffaloes, performed during times of agricultural abundance. Bakaul is also carried out to invoke rain before planting season or to ward off misfortunes affecting the village or nagari.
  • Mambantai Adaik
    A communal ritual held before and after the fasting month (Ramadan) and on the sixth day of Eid (Rayo Puaso Anam). During this time, villagers gather to slaughter buffaloes (mambantai kabau) and share meals in together.

Perkampungan Adat Sijunjung, Perkampungan Adat Nagari Sijunjung yang tepatnya berada di Jorong Koto Padang Ranah dan Tanah Bato merupakan dua wilayah yang masih utuh sepanjang perjalanan historis kerajaan Pagaruyung yang dimulai dari abad ke 14. Aktifitas kelompok kerjasama masyarakat Perkampungan Adat Nagari Sijunjung anatra lain: (1) Batoboh adalah sistem kongsi atau kerjasama dalam menggarap pertanian, aktifitas ke ladang atau panen karet, dan mendirikan Rumah Gadang; (2) Bakaul merupakan aktifitas budaya dalam bersyukur dengan menyembelih kerbau karena limpahan panen, bakaul juga dilakukan untuk meminta hujan pada musim ke sawah dan menolak bala yang menimpa perkampungan atau nagari tersebut; (3) Mambantai adaik merupakan kegiatan ini dilaksanakan pada saat masuk dan sesudah puasa serta rayo puaso anam. Pada saat ini masyarakat berkumpul mambantai kabau (menyembelih kerbau) dan makan bersama.

https://drive.google.com/file/d/112C3tSZmrqMzdcdK2Cnfnx0uNWb9V_Rl/view?usp=sharing

2.. Makam Syekh Abdul Wahab/ The Tomb of Syekh Abdul Wahab

Syekh Abdul Wahab (died in 1869 in Calau) was a highly respected Islamic scholar born into the Kampai tribe in Tanjung Bonai Aur, Sumpur Kudus, Sijunjung Regency. He was a prominent figure in the Tarekat Satariyah (Satariyah Sufi order), known for his deep knowledge and spiritual leadership.

He established and taught at the Surau Tinggi (a traditional Islamic learning center), which he built together with the local ninik mamak (traditional leaders). Before settling in Calau, Sheikh Abdul Wahab lived and taught in his hometown of Tanjung Bonai Aur.

Today, his tomb in Calau remains a site of spiritual and cultural significance, visited by people who pay respect to his legacy and contributions to Islamic scholarship in the region.

Makam Syekh Abdul Wahab,. Syekh Abul Wahab (wafat 1869 di Calau) ialah seorang ulama besar yang lahir dari suku Kampai Tanjung Bonai Aur, Sumpur Kudus. Ia tokoh tarekat satariyah yang disegani. Mengajar di Surau Tinggi yang ia dirikannya bersama ninik mamak di sana. Sebelum di Calau Syekh Abdul Wahab mengajar dan tinggal di kampungnya Tanjung Bonai Aur, Kecamatan Sumpur Kudus, Sijunjung.

https://drive.google.com/file/d/1fZtgKtmuIdDheQSv5CKU1W-PwfdZR5fN/view?usp=sharing

3. Istano Kalambu Suto Jambu Lipo/ Istano Kalambu Suto of Jambu Lipo

Istano Kalambu Suto is a palace of the Jambu Lipo Kingdom, serving as the highest place of judgement where final decisions are made by the Daulat Rajo Alam of Jambu Lipo, after deliberations with the Rajo Duo Selo (the two traditional kings).

Before any case reaches Istano Kalambu Suto, all issues within society must first be resolved at the nagari (village) level by the niniak mamak (clan elders) and pucuak adat (traditional leaders). If a resolution is not found, the matter is brought to the Rajo Duo Selo for a hearing. If the issue concerns about Islamic law (syarak), it is handled by the Rajo Ibadat (King of Religious Affairs). If it relates to customary law (adat), it is addressed by the Rajo Adat (King of Custom). If both customary and religious leaders cannot reach a settlement, the case is escalated to the Daulat Rajo Alam, who delivers the final verdict at Istano Kalambu Suto.

Istano Kalambu Suto, merupakan istana kerajaan Jambu Lipo yang digunakan sebagai tempat memutus perkara tingkat akhir untuk semua persoalan oleh Daulat Rajo Alam Jambu Lipo setelah bermusyawarah dengan Rajo Duo Selo. Sebelum di bawa ke Istano Kalambu Suto, setiap persoalan yang terjadi di masyarakat harus diselesaikan oleh niniak mamak dan pucuak adat masing-masing nagari, Jika tidak selesai juga maka akan dibawa ke Rajo Duo Selo Jambu Lipo untuk di sidang. Jika masalahnya terkait syarak maka diselesaikan oleh Rajo Ibadat, jika masalahnya terkait adat maka diselesaikan oleh Raja Adat. Kalau semua masalah tidak bisa diselesaikan oleh Raja Adat dan Raja Ibadat, maka tahap terakhir diputuskan oleh Daulat Raja Alam Jambu Lipo di Istano Kalambu Suto.

https://drive.google.com/file/d/1BYT4fyAjhpnDheuyn3LDOHMB2WS8dmYp/view?usp=sharing

4. Makam Rajo Ibadat/ The Tomb of Rajo Ibadat

The society of Sumpur Kudus believe in an oral history passed down through generations that after being crowned king in 1347, A genealogical connection between Adityawarman and Raja Ibadat began when Adityawarman married a princess from Sumpur Kudus to strengthen ties with the region. The princess was named Puti Pinang Masak, who later gave birth to the descendants of Raja Ibadat.

Makam Rajo Ibadat, Masyarakat Sumpur Kudus meyakini oral history yang diperoleh secara turun-temurun bahwa setelah dinobatkan menjadi raja pada 1347, “Hubungan genealogi antara Adityawarman dengan Raja Ibadat telah dimulai ketika Adityawarman menikahi seorang putri asal Sumpur Kudus, guna mempererat hubungan dengan daerah itu. Putri itu bernama Puti Pinang Masak yang kemudian melahirkan keturunan Raja Ibadat.

https://drive.google.com/file/d/1SEDecKDLUy65tc0JGFl-ZRuVV6T4n1X5/view?usp=sharing

5. Surau Simauang

Surau Simaung is a cultural heritage site and a center of learning in Nagari Sijunjung, housing 88 ancient manuscripts that are the legacy of Syekh Malin Bayang. The surau was founded by Syekh Malin Bayang, a scholar of the Satariyah Sufi order, and it has now become a popular religious tourism destination, frequently visited by pilgrims every Jumadil Akhir.

Surau Simaung adalah sebuah cagar budaya dan pusat ilmu di Nagari SIjunjung yang menyimpan 88 naskah kuno dan merupakan peninggalan Syekh Malin Bayang. Surau ini didirikan oleh Syekh Malin Bayang, seorang ulama dari tarekat Syattariyah, dan kini menjadi lokasi wisata religi yang ramai dikunjungi peziarah pada setiap bulan Jumadil Akhir.

 

6. Lokomotif Uap Silukah

The Silukah Steam Locomotive was discovered by residents of Silukah in 1980 during the construction of a road connecting Silokek, Durian Gadang, and Tapus. Measuring 8.73 meters in length, 2.35 meters in width, and 2.94 meters in height, this locomotive stands as a significant historical artifact, serving as tangible evidence of the Japanese occupation in Indonesia, particularly in the Sawahlunto and Sijunjung regions.

This steam locomotive is closely linked to the construction of a railway line from Muaro to Logas in 1943, a project carried out largely by forced laborers from Java, known as romusha. It was originally intended for transporting coal from the Ombilin mines in Sawahlunto to Logas, and further onward to Riau.

Lokomotif Uap, Lokomotif Uap tersebut mempunyai panjang 8,73 m, lebar 2,35 m, dan tinggi 2,94 m. ditemukan oleh masyarakat Silukah pada tahun 1980 saat pembuatan jalan darat dari Silokek ke Durian Gadang dan terus ke Tapus. Lokomotif Uap ini merupakan salah satu peninggalan sejarah yang penting artinya sebagai bukti keberadaan masa kependudukan Jepang di Indonesia khususnya di daerah Sawahlunto/Sijunjung. Lokomotif Uap ini terkait dengan pembuatan jalan kereta api dari Muaro ke Logas pada tahun 1943, yang sebagian besar pekerjanya berasal dari Pulau Jawa (Romusa). Lokomotif ini direncanakan untuk penganggkutan batubara dari Ombilin Sawahlunto ke Logas dan terus ke daerah Riau.

https://drive.google.com/file/d/1DSFo9WUxGdcmPxyZE685i6zIUD4tgCwk/view?usp=sharing

7. Makam Willem De Greve/ The Tomb of Willem De Greve

Willem Hendrik De Greve, a young man from Freneker, Netherland, came to the Dutch East Indies on a mission to investigate and study the region’s mineral resources. As a geologist, his youthful dedication and work in Ombilin ended tragically on the Kuantan River, where he lost his life in an accident while confronting the fierce and wild river.

His death became a powerful source of inspiration. Many people were moved to continue and realize his vision. His hard work, determination, and persistence sparked a wave of transformation — one that would eventually give birth to a Coal Mining Industrial City in the years to come.

Makam William Hendrik De Greve, Willem Hendrik De Greve, putra dari ‘negeri raja’, Franeker Belanda. Datang ke Hindia Belanda mengemban tugas penyeiidikan dan penelitian berbagai kandungan mineral bahan tambang. Sebagai ahli geologi, Kiprah dan semangat mudanya di Ombilin berakhir tragis di Batang Kuantan. la tewas dalam kecelakaan saat berhadapan sungai liar berarus buas itu. Kepergiannya menjadi daya dorong begitu dahsyat. Banyak orang berkeinginan melanjutkan dan mewujudkan impiannya. Kerja keras, keuletan serta ketekunannya menjadi letupan energi perubahan. Sebuah Kota Industri Tambang Batubara telah dilahirkannya kemudian hari.

https://drive.google.com/file/d/1UYUaFcALFaL76UtzRc245XUcFJZgDXI5/view?usp=sharing

  1. Makam Syekh M. Yasin/ The Tomb Of Syekh M. Yasin

2. Situs Makam Anak Rajo Alam/ The Tomb of Anak Rajo Alam

The people of Nagari Kumanis preserve a strong oral history, passed down through generations, which tells that King Adityawarman, once departed from Dharmasraya, journeyed inland into the Minangkabau highlands with his wife. They followed the upper Batanghari River, continued along the Batang Kawas (also known as the Sinamar River).

In Kumanis, Adityawarman was warmly welcomed by three traditional elders (Ninik) from the area, four elders from Tanjung Bonai Aur, and also by the Raja Sekutu in Sumpur Kudus. He then established his first kingdom in Tanjung Alam, Nagari Kumanis.

Today, a royal tomb located in the area is believed to be the resting place of Adityawarman’s child.

Makam Anak Rajo, Masyarakat Nagari Kumanis meyakini oral history yang diperoleh secara turun-temurun bahwa pada saat Raja Adityawarman meninggalkan Dharmasraya menuju pedalaman Minangkabau beserta istrinya dengan mengikuti hulu Batanghari hingga Batang Kawas (Sinamar).

Di Kumanis, Adityawarman diterima dengan baik oleh tiga Ninik (tetua) dan empat Ninik di Tanjung Bonai Aur, serta Raja Sekutu di Sumpur Kudus. Adityawarman kemudian mendirikan kerajaan pertama di Tanjung Alam Nagari Kumanis dan Makam yang ada saat ini merupakan makam anak Adityawarman.